Hukum

Ratusan Buruh Lakukan Aksi Long March Dari Bandung Menuju Jakarta Tuntut Cabut Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja

×

Ratusan Buruh Lakukan Aksi Long March Dari Bandung Menuju Jakarta Tuntut Cabut Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini

Hallonusantara.com|| BEKASI – Ratusan buruh lakukan aksi berjalan kaki atau long march dari Bandung menuju Jakarta Tuntut Cabut Undang-Undang omnibuslaw cipta kerja pada Senin(08/22).

Buruh yang tergabung dalam Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja melakukan kegiatan long march dari Bandung menuju Jakarta. Long march merupakan salah satu rangkaian sebelum pelaksanaan aksi unjuk rasa akbar serentak pada tanggal 10 Agustus 2022 di Jakarta dan di berbagai Ibu Kota Propinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

AASB menuntut agar Pemerintah dan DPR  mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.

Long march dengan cara jalan kaki oleh para aktivis serikat pekerja/buruh dilakukan untuk menjaga ingatan publik bahwa masih ada masalah kenegaraan krusial yang berlarut-larut dan belum ada solusi yang berlandaskan keadilan sosial dan azas keterbukaan bagi seluruh rakyat, yakni tentang sengkarut  dan kusutnya UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kegiatan long march yang merupakan metode perjuangan kaum pekerja/buruh untuk menggalang opini dan meraih simpati rakyat diawali dari depan Gedung Sate Kota Bandung pada hari Sabtu, 6 Agustus 2022 jam 10.00 WIB.

Peserta long march dibatasi hanya 50 orang sebagaimana hasil kesepakatan perwakilan AASB dengan Polda Jabar. Namun pada acara pemberangkatan akan diiringi  massa buruh sebanyak 500 orang yang tergabung dalam AASB.

Perjalanan akan ditempuh dengan melewati jalan raya dan akan melewati kantong-kantong buruh atau kawasan industri antara Bandung -Jakarta.

Aktivitas long march dibagi beberapa pos pemberhentian dan acara penyambutan oleh massa buruh dalam bentuk iring-iringan,  kreativitas teatrikal, viralisasi flashmob, alat peraga unik dan kemampuan orasi para tokoh Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Aliansi Aksi Sejuta Buruh Cabut UU Omnibus Law Cipta Kerja  didukung
lebih dari 40 Organisasi Buruh mulai dari, Konfederasi, Federasi, Serikat Pekerja tingkat perusahaan, OJOL (Ojek Online), TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) dan lain-lain di Seluruh
Indonesia.

Aksi unjuk rasa akbar ini akan dilakukan karena Pemerintah maupun DPR tidak menghiraukan berbagai aksi dan dialog, baik sebelum dan sesudah disahkannya UU  tersebut, yang telah dilakukan oleh berbagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang terjadi hampir di seluruh daerah terutama di Jakarta.

Hal tersebut justru direspons dengan mensahkan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sehingga bisa menjadi alat untuk melegitimasi UU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Konstitusional dan berlaku di Indonesia.”ucap Jumhur Hidayat Koordinator aksi sejuta buruh.

Jumhur Hidayat menambahkan, Seperti kita ketahui bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah bermasalah sejak
awal pembentukannya dan hal itu tergambar dengan jelas dari reaksi dan gelombang resistensi yang timbul dari banyak komponen masyarakat. Karenanya bisa dikatakan bahwa Pemerintah bersama DPR telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pembentukan UU tersebut.”Tegas Jumhur

Masih Jumhur, Tanda-tanda bahwa pemerintah bersama DPR akan tetap melanjutkan cara-cara
akrobatik terlihat pada proses revisi UU PPP yang prosesnya sangatcepat. Bila kita menyimak Putusan MK tentang UU Omnibus Law Cipta Kerja, akan terlihat bahwa tidak mungkin UU ini menjadi Konstitusional, bahkan setelah revisi UU PPP disahkan kecuali diulang dari awal sejak mulai perencanaan dan penyusunannya. Salah satu pelanggaran yang tidak memungkinkan UU Omnibus Law Cipta Kerja dapat disahkan adalah Putusan MK yang menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut melanggar asas  yang tercantum dalam UU PPP.”tutup Jumhur

Di tempat yang sama kami awak media mewawancarai Sunarti selaku presidium aksi sejuta buruh, bahwasanya Pelanggaran asas tersebut adalah tidak secara memadai dilibatkannya berbagai pemangku kepentingan termasuk SP/SB sebagai representasi pekerja/buruh dalam proses pembentukannya.”tutur Sunarti.

Secara gamblang UU Omnibus Law Cipta Kerja, lanjut Sunarti,  ini melanggar Pasal 5 huruf (g) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu mengabaikan asas keterbukaan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan.”Tegas Sunarti.

Masih Sunarti, Sehingga sebagai pihak terdampak langsung dalam hal ini pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan baik dalam tahap perencanaan dan penyusunan draft/naskah
maupun saat pembahasan di DPR.”Tambah Sunarti.

Karena mengabaikan asas keterbukaan itu maka Materi Muatan UU Cipta Kerja ini banyak melanggar kaidah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana materi-materi muatannya di antaranya mengabaikan asas pengayoman, asas keadilan dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan di mana setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan dan rasa keadilan sehingga menciptakan ketenteraman dalam masyarakat.”masih Sunarti.

Akibat proses pembentukan UU yang banyak melanggar asas sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pekerja/buruh merasakan ketidakadilan serta hilangnya perlindungan dari negara dalam masa bekerja karena status kerja yang tidak ada kepastian akibat kerja kontrak, alih daya (outsourcing) dan ancaman PHK yang setiap saat menghantuinya serta aturan yang menurunkan standar
kesejahteraan. Tentu saja hal ini akan menyebabkan terganggunya keseimbangan, keserasian dan keselarasan serta produktivitas dalam hubungan industrial.”lanjut Sunarti.

Di samping itu UU Omnibus Law Cipta Kerja juga telah mengabaikan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena mulai dari perencanaan dan penyusunannya tidak melibatkan Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit dan ini artinya tidak terjadi proses komunikasi, konsultasi, musyawarah secara tuntas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (19) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.”tutur Sunarti.

Demikian juga halnya UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi
memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit.”tutup Sunarti.

Faktanya SP/SB tidak dilibatkan dalam perencanaan penyusunan draft/naskah RUU Cipta Kerja padahal ini menyangkut nasib lebih dari 56 juta pekerja formal beserta keluarganya yang artinya juga pasti mempengaruhi kesejahteraan rakyat secara umum.

Dari uraian di atas, ALIANSI AKSI SEJUTA BURUH CABUT UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA menuntut Pemerintah dan DPR untuk mencabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja No. 11 tahun 2020.

Bila tuntutan ini dikabulkan maka SP/SB siap berdialog secara konstruktif dari awal untuk ikut serta menyempurnakan Kebijakan Nasional tentang Ketenagakerjaan baik yang akan diatur dalam sebuah UU maupun aturan-aturan turunannya.

Catatan SP/SB :

Presiden Jokowi telah memerintahkan para pembantunya untuk merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun seperti apa bentuk revisinya, masih belum jelas. Semua masih bingung. Apakah revisi ala kadarnya sekedar basa-basi politik atau revisi total yang mendasar yang melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.

Pasca Keputusan MK terkait dengan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja, seisi republik hingga kini nampaknya masih bingung. Begitupun para pakar hukum dan akademisi pun juga dibikin geleng-geleng kepala.
Seperti disuarakan oleh para pakar hukum, salah satunya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar yang mengatakan pasca keputusan MK tersebut membingungkan.

Zainal mengatakan dalam keputusan MK terdapat dua konsep yakni konstitusional bersyarat yang dianggap UU Cipta Kerja berlaku untuk sementara sampai direvisi. Kedua adalah inkonstitusional bersyarat yang dianggap tidak konstitusional dan tidak diberlakukan sampai direvisi.
Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti juga menilai putusan memperlihatkan bahwa MK tak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga politik. Putusan inkonstitusional bersyarat dinilai jalan tengah yang menimbulkan kebingungan.(Heru)

Demikian Siaran Pers ini kami sampaikan, atas kerjasamanya kami ucapkan
terimakasih.

Bandung,  6 Agustus 2022
Hormat kami,
ALIANSI AKSI SEJUTA BURUH
CABUT UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
Kontak Point Long March dan Aliansi Aksi Sejuta Buruh :
Arif Minardi  – Kontak point  +62 818 420 060
Daeng Wahidin 0858 8134 1055
Sunarti 0813 8047 3001

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.